Thursday, November 14, 2013

PEMIKIRAN POLITIK PRAMOEDYA ANANTA TOER


Pendahuluan


Biografi Singkat
Pramoedya Ananta Toer lahir tanggal 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah. Ia adalah putra sulung dari seorang guru yang nasionalis. Ayahnya putra tertua seorang naib, sementara ibunya putri tengah seorang petinggi keagamaan dari Rembang. Di usia empat tahun pada 1929, Pramoedya masuk di sekolah yang dipimpin ayahnya.  Selama periode ini,  ayahnya mendedikasikan waktu di sore hari setelah sekolah, khusus untuk membinanya. Sang ayah mengajarinya tentang alam, nasionalisme, cerita-cerita rakyat, tentang penindasan, penderitaan manusia dan keserakahan Belanda. Di dalam cerpen Pramoedya “Yang Sudah Hilang”, Ia menggambarkan ibu sang narator mengajarkannya  hal-hal seperti kajian tentng flora dan fauna lokal, nama-nama binatang serta konsep nasionalisme dan identitas budaya.

Latar Belakang dan Pendekatan Kritis Terhadap Sastra
Ketegangan sosial yang terjadi pada awal 1950-an menyebabkan perubahan-perubahan politik diantisipasi para seniman dan penulis dengan dengan mengekspresikan ketidakpuasan dan rasa frustasi mereka terhadap masyarakat kontemporer dalam karya kreatif mereka. Pada saat itu, PKI adalah satu-satunya partai yang menaruh minat untuk “meluas dan meninggikan” aspek-aspek yang lebih halus dalam kehidupan manusia, dalam hal ini yang dimaksud adalah seni dan budaya, demi masyarakat yang buta huruf di Indonesia. PKI  merespon dan tertarik kepada para penulis dan seniman yang secara sosial kurang beruntung. PKI menunjukkan perhatian kepada peran-peran mereka serta kebutuhan mereka untuk mendapatkan tempat di masyarakat. Namun keberadaan mereka tersebut juga didikte oleh program-program partai sehingga mudah bagi mereka untuk bertindak, sadar atau tidak sadar, sebagai juru bicara kebijakan-kebijakan partai merupakan sebuah peran yang mencoreng kredibilitas mereka sebagai seniman-seniman bonafid.
Situasi yang demikian dan dibarengi pula oleh krisis yang berkepanjangan dalam rumah tangga Pramoedya, sehingga membuatnya berpaling ke arah Kiri. Di saat itu itulah Pram didekati oleh A.S Dharta yang saat menjadi sekretaris Jenderal Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang juga merupakan pendiri Lekra. Lekra juga mengatur agar Pram diundang untuk menghadiri peringatan hari wafatnya pengarang terkemuka di China yaitu Lu Hsun. Di saat Ia berkeliling Cina, Ia melihat bagaimana partai Kiri berusaha menyelamatkan rakyat selama ribuan tahun dalam kesengsaraan. Dia melihat juga bahwa di negeri itu, para seniman dan terutama para pengarang mendapat penghargaan yang tinggi dari negara sehingga hidupnya memadai. Meskipun ia tidak menelan begitu saja propaganda yang dihadapkan kepadanya, namun ia menyadari bahwa untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia haruslah ada uluran tangan dari kekuasaan yang membimbing dan mengarahkannya.
Sosok Pramoedya sebelumnya dikenal sebagai salah satu tokoh sastra tanpa afiliasi politik. Namun setelah adanya Konsepsi Soekarno yang merupakan suatu tanda atau simbol bagi Pramoedya untuk mengambil keputusan yang tegas, ia kemudian mampu mengutarakan sikap politik secara dramatis dengan menjadikan dirinya salah satu tokoh sastra tenar pertama yang mendukung suatu program baru presiden. Karena PKI adalah partai politik pertama yang mendukung Konsepsi Presiden Soekarno, jadi wajar saja bagi Pramoedya apabila hal itu dipromosikan sebagai suatu unsur kebudayaan dalam jurnal ideologi resmi dari suatu partai politik.













Pembahasan

Pemikiran Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer merupakan salah seorang pemikir politik yang menganut paham nasionalisme yang ditanamkan oleh ayahnya semenjak ia kecil. Ia menuangkan ide-ide pemikiran serta kritiknya terhadap kondisi sosial dan politik di Indonesia melalu karya-karya sastranya, dari esai, cerpen, hingga novel. Karya-karyanya yang beraliran realisme sosial, merupakan hasil seleksi pengalaman hidup yang pernah ditempuhnya. Ia sosok novelis yang mencurahkan pemikirannya di bawah naungan humanisme dan ciri kemanusiaan merupakan landasan utama penciptaan seluruh karya sastranya. Di dalam karyanya, Pramoedya mengusut berbagai inti pemikiran dari kritikannya terhadap pemerintahan.
Aliran Realisme Sosialis
Kegandrungan Pramoedya terhadap sejarah kemungkinan besar dipengaruhi oleh teori sederhana Maxim Gorky: The people must know their history (rakyat mesti tahu sejarahnya). Pengaruh lain bisa disebutkan datang dari aliran realisme, terutama realisme sosialis. Bagi Pramoedya, salah satu watak realisme sosialis adalah "terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri". Dalam definisi Pramoedya, Realisme sosialis merupakan metode yang meneruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan pandangan sosialisme-ilmiah. Dalam menghadapi persoalan masyarakat, realisme sosialis mempergunakan pandangan yang struktural fundamental.
Realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana "penyadaran" bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.
Realisme sosialis mereka memang bukan layaknya realisme sosialis yang berkembang kemudian. Keberpihakan mereka terhadap rakyat pekerja yang lemah lebih merupakan suatu komitmen sosial, dan bukan atas dorongan landasan-landasan yang lebih ilmiah seperti halnya realisme sosialis sebagai aliran yang datang lebih kemudian. Atau dengan kata lain, realisme sosialis mereka bisa dikatakan sebagai realisme sosialis "cikal bakal" yang masih bersifat sosialisme utopis. Sedikit membela mereka, Pramoedya mengistilahkannya sebagai kekeliruan, bukan kesalahan.
Ini benar, hampir dalam semua karya Pramoedya, tokoh-tokoh protagonisnya hadir untuk berjuang demi cita-citanya secara gigih, tetapi kemudian secara terpaksa menyerah kepada kenyataan yang ada. Pramoedya sering kali memang tidak menempatkan karya sastranya dalam semboyan atau teriakan tentang cita-cita yang muluk. Yang terpenting bagi dirinya adalah bangkitnya kesadaran pembaca (masyarakat) akan tanggung jawab sebagai manusia untuk keadilan dan kebenaran.

Konsep Nasionalisme
Secara garis besar konsep nasionalisme Pram yang dikaitkan dengan bentuk Negara, Pram lebih suka bentuk kesatuan. Ia tidak sepakat dengan bentuk federalism, karena ia menganggap bahwa dengan federalism intervensi asing akan mudah masuk ke Indonesia. Pram lebih menyukai otonomi sebagai bentuk kompromi pertentangan konsep Negara kesatuan yang terlalu absolute dengan konsep Negara federalism yang terlalu bebas. Apabila memakai konsep Negara federalisme Indonesia juga belum tentu mampu menerapkannya. Karena wilayah kelautan juga masih sering kecolongan dikarenakan masih lemahnya sistem pertahanan dan keamanan pada batas-batas kelautan di Indonesia.
Pram berasumsi bahwa persoalan mendasar yang perlu dibenahi dalam persoalan berbangsa dan bernegara adalah wawasan dari sejarah yang berangkat dari rasa kebersamaan sehingga kita menjadi satu bangsa Indonesia. Wawasan tersebut tidak boleh dilupakan dan harus dikuatkan dan disepakati. Tugas kita adalah mengajarkan wawasan kebersamaan tersebut kepada anak-anak.
Kata kunci konsep dasar nasionalisme dalam sejarah pergerakan masyarakat Indonesia sebenarnya adalah persatuan. Pram pernah menulis karyanya  yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Yang dilatarbelakangi kunjungan Pram ke Banten untuk menggerakkan masyarakat dalam persatuan untuk melawan pemberontakan DI/TII. Soekarno pernah berkata bahwa Pancasila itu bisa diperas menjadi trisila kemudian bisa diperas lagi menjadi satu, yaitu gotong royong. Pram menceritakan dalam karyanya tersebut tentang nasib masyarakat yang selalu ditindas terus, mulai dari penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, Agresi Militer Beanda I dan II, kemudian ditambah lagi pemberontakan DI/TII. Penindasan yang sempurna untuk masyarakat Indonesia. Makin menderita saja masyarakat Indonesia, kemudian sudah menderita masih ditambah lagi tercerai berainya tatanan masyarakat. Jika masyarakat tidak mau bersatu dan gotong royong tunggu saja datangnya pahlawan bertopeng yang akan melepaskan masyarakat dari penderitaan akibat penindasan. Penderitaan ini sangat kronis karena berlangsung sangat lama dan terus menerus sampai keturunan-keturunan berikutnya.
                Pram juga melihat jika perkembangan nasionalisme dari tiap zaman perlu dilakukan perubahan. Zaman kolonialime tentu berbeda situasi dan kondisinya dengan orde lama maupun orde baru. Nasionalisme 45 adalah semangat. Musuh kita pada tahun 45 adalah penjajah yang bisa dilawan dengan perang yang menggunakan kekuatan fisik. Seperti halnya Perang dunia I, Perang Dunia II, atau Perang Salib. Namun, saat ini perang yang kita alami berganti menjadi perang ekonomi, pertarungan menanamkam modal di Negara lain.

Konsep Jawasentrisme
                Pramoedya Ananta Toer mengkritik fenomena kekuasaan yang terlalu Jawa Sentris. Fenomena ini ini ditolak oleh Pram dikarenakan sudah sejak zaman penjajahan pusat pemerintahan selalu berada di Jawa yang mengakibatkan banyak ras-suku yang bermigrasi ke Jawa. Mereka menganggap bahwa Jawa lebih baik dari pulau lain dan lebih, mudah, enak, nyaman, tenteram, bahagia bekerja ataupun sekolah di Jawa. Singkatnya, mereka lebih suka hidup di Jawa daripada hidup di daerahnya sendiri yang secara pembangunan masih tertinggal dari Jawa.
Pram menilai apabila konsep pemusatan kekuasaan nasional di Jawa cenderung menjadikan kita sebagai bangsa yang hanya bergerak ke dalam, tidak berani melakukan ekspansi, dan menonjolkan kekutan di luar. Bangsa yang hanya cari aman saja, Akibatnya banyak terjadi konflik internal tidak berkesudahan dalam perjalanan bangsa sejak merdeka sampai reformasi.
 Pramoedya sepertinya melihat, monopoli (kebudayaan) Jawa adalah biang keladi KKN yang menghancurkan tata pemerintahan yang baik dan bersih sepanjang sejarah nusantara. Menurut pengakuan Pram, ketika zaman Soekarno muncul wacana untuk memindah ibukota Negara ke Palangkaraya, ia setuju dengan wacana tersebut. Namun, tidak terlaksana karena pemerintahan beralih ke rezim Soeharto. Sebenarnya sewaktu zaman Soeharto Pram pun berharap bahwa pusat pemerintahan akan berpindah dari Jawa. Namun, setelah lama menanti sampai rezim Soeharto beralih ke era reformasi tidak kunjung berpindah, dan pusat pemerintahan sampai saat ini tetap berada di Jakarta yang masuk wilayah Jawa.


Konsep Marxisme (Pertentangan Kelas)
                Salah satu konsep pemikiran lain dari Pramoedya mengenai kehidupan sosial Indonesia pada masa itu ialah Marxisme (pertentangan kelas) yang dituang dalam novel salah satunya berjudul Bumi Manusia. Nilai marxisme  dalam novel Bumi Manusia dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan Pramoedya sendiri. Hal itu merupakan cerminan kehidupan Pramoedya yang penuh dengan perjuangan guna menegakkan keadilan.
Marxisme merupakan pemberontakan untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kemanusiaan yang merata bagi seluruh umat manusia. Marxisme mengandung nilai perjuangan keadilan, nilai penghapusan strata sosial, nilai rasa senasib-sepenanggungan, nilai multikulturalisme dan nilai anti-kapitalisme atau persamaan yang terdapat dalam novel Bumi Manusia.
                Buku tersebut bercerita tentang perjalanan seorang tokoh bernama Minke. Minke adalah salah satu anak pribumi yang sekolah di HBS. Pada masa itu, yang dapat masuk ke sekolah HBS adalah orang-orang keturunan Eropa. Minke adalah seorang pribumi yang pandai, ia sangat pandai menulis. Tulisannya bisa membuat orang sampai terkagum-kagum dan dimuat di berbagai Koran Belanda pada saat itu. Sebagai seorang pribumi, ia kurang disukai oleh siswa-siswi Eropa lainnya. Minke digambarkan sebagai seorang revolusioner di buku ini. Ia berani melawan ketidakadilan yang terjadi pada bangsanya. Ia juga berani memberontak terhadap kebudayaan Jawa, yang membuatnya selalu di bawah.
Selain tokoh Minke, buku ini juga menggambarkan seorang “Nyai” yang bernama Nyai Ontosoroh. Nyai pada saat itu dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan. Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, yang menariknya adalah Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut sehingga dia berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Nyai Ontosoroh berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan belajar. Minke juga menjalin asmara dan akhirnya menikah dengan Anneliesse, anak dari Nyai Ontosoroh dan tuan Millema.
Melalui buku itu, Pram menggambarkan bagaimana keadaan pemerintahan kolonialisme Belanda pada saat itu secara hidup. Pram, menunjukan betapa pentingnya belajar. Dengan belajar, dapat mengubah nasib. Seperti di dalam buku ini, Nyai yang tidak bersekolah, dapat menjadi seorang guru yang hebat bagi siswa HBS dan Minke. Bahkan pengetahuan si nyai itu, yang didapat dari pengalaman, dari buku-buku, dan dari kehidupan sehari-hari, ternyata lebih luas dari guru-guru sekolah HBS.

Konsep Humanisme
Untuk menghubungkan “realisme sosialis”-nya dengan isu-isu kontemporer, Pramoedya memperingatkan bahwa humanisme universal bukanlah sesuatu yang istimewa, melainkan hanya sebuah versi baru dari apa yang ada pada masa kolonial yang disebut kebijakan etis. Sebagai  pewaris kebudayaan, para penulis akan mempromosikan sifat universal kemanusiaannya dan bukan kecenderungan-kecenderungan budaya tertentu yang terbatas hanya pada satu bangsa. Sikap ini kemudian dikenal dengan istilah “humanisme universal”. Pernyataan ini menegaskan bahwa rakyat berasal dari percampuran yang memunculkan dunia-dunia baru nan sehat. Dengan demikian rakyat tidak terbatas pada kelas sosial tertentu.
Di mata Pram, humanisme universal adalah humanisme individualis-borjuis yang melemahkan cita-cita revolusi karena membawakan pesimisme dan negativisme, cerminan bagi suara kapitalis Barat yang kehilangan tanah jajahan. Sementara itu, realisme-sosialis berwatak optimistis dan menentang kapitalisme dan imperialisme. Pram lalu menyatakan, salah satu watak realisme-sosialis adalah sikap militan yang ia kutip dari Maxim Gorky: if the enemy does not surrender, he must be destroyed.
Dengan demikian, pembelaan terhadap humanisme tidak bisa diukur dari realis atau modernisnya suatu karya. Karya realis bisa saja sangat humanis, seperti karya Pram, tapi bisa juga antihumanisme ketika ia menjadi “seni resmi”, “seni pembangunan”. Sementara itu, puisi liris, yang kelihatannya individual, dalam rezim totaliter bisa saja menjadi suara subversif. Melalui karya-karyanya, Pramoedya senantiasa menghadirkan sosok revolusioner, pembawa perubahan, dan penentang arus yang memberikan perlawanan terhadap situasi dan kondisi mapan yang tidak memanusiakan manusia. Humanisme Pram berlaku pada konsistensi membela keadilan dan kemanusiaan. Pram memberi pesan damai pada semua peradaban baik yang dimiliki pada setiap bangsa.




Pengaruh Pemikiran Pramoedya

          Militansi ala Gorky yang telah dipaparkan sebelumnya, mungkin dipakai sebagai pedoman Pramodeya ketika duduk sebagai dewan redaksi di Lentera. Hasilnya, beda persepsi dan stilistika penulisan karya sastra ditransformasikan ke ranah publik hingga melahirkan konflik-konflik yang berujung pada terali penjara. Kelompok sastrawan yang tidak seide dan seiman dengan barisannya ‘terpaksa’ berkonsolidasi dan melahirkan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Di akhir hayatnya, ketika Pramoedya ditanya kenapa dulu di Lentera menyerukan agar penulis yang tidak berpihak pada the perspiring and toiling masses ‘dibabat’ dan ‘tidak perlu diberikan ruang sekecil-kecilnya’, pledoinya ternyata mambu-mambu security approach dan paradoks dengan pesan humanisme yang ada di dalam karya-karyanya. Pramoedya membuat kesepakatan keberpihakan dengan penguasa, menurutnya, saat itu Soekarno sedang terancam dan negara dalam bahaya. Karena itu, seni yang tidak seiring-sejalan dengan revolusi harus ‘dibabat’.
Di sisi lain, Godftaher Realisme-Sosialis ini ternyata membawa pertimbangan-pertimbangan pribadi ke dalam intrik pemikiran berkesenian dan berkebudayaan Indonesia kala itu. Pramoedya memaparkan sebuah alasan pribadi bahwa ketika dirinya duduk di beranda Lentera, ia sangat marah pada militer dan semua yang diperalat oleh militer karena penahanan atas dirinya yang semena-mena. Dan Lentera adalah alat yang tepat dan masuk akal untuk digunakannya sebagai media balas dendam kepada ‘musuh-musuh’nya yang sekarang berbaris rapi dalam kubu Manikebu.

Hoa Kiau
Istilah Hoa Kiau yang digunakan Pramoedya merujuk secara khusus kepada warga Republik Rakyat Cina yang hidup di Indonesia. Dalam analisanya mengenai sejarah dan latar belakang sosial sebelum kedatangan kolonialisme Belanda, sepanjang periode kolonial, dan semenjak kemerdekaan, Pramoedya tidak membedakan antara orang Cina yang berdarah murni dan peranakan. Dalam hal ini, Pramoedya memandang minoritas masyarakat Tionghoa dalam pemikiran yang mirip dengan pemikiran yang mirip dengan pola pemikiran pandangan kebanyakan masyarakat non-Cina yang lahir di Indonesia dalam memandang masyarakat non-Cina yang lahir di Indonesia dalam memandang masyarakat pendatang tersebut, yaitu sebagai kelompok orang asing yang homogen.
Karya Pramoedya mengenai minoritas Tionghoa agak berbeda. Karyanya terutama membela hak-hak “hoa-kiau” atau “orang asing” Tionghoa yang hidup di Indonesia. Ia berpendapat, antara lain, bahwa adalah hak dari “hoa kiau”  untuk mempertahankan kewarganegaraan RRC mereka, baik secara aktif maupun pasif. Pramoedya berependapat bahwa seharusnya untuk menjadi warganegara RRC dan memilih untuk memilih tinggal di Indonesia bukanlah suatu kejahatan. Tidaklah adil melarang mereka bermata pencaharian hanya karena mereka adalah warga negara asing.
Selain itu, menurut Pramoedya bahwa musuh utama dari orang Indonesia bukanlah para “hoa kiau”, namun para imperialis dari industrialis asing dari Barat  : Inggris, Amerika, Belanda, dan sekutu lokal mereka yaitu para borjuis nasional dan komprodator kapitalis. Argumen tersebut sejalan dengan sudut pandang beberapa fraksi PKI dan Baperki yang dipimpin Siau Giok Tjhan. Analisa sosial Pramoedya dan jargon yang dipakainya sangat mirip dengan analisa PKI tentang masyrakat Indonesia pada masa itu, khususnya tentang “borjuasi nasional” dan “komprador kapitalis” yang dianggap sebagai kelas-kelas dalam masyrakat yang harus dihancurkan oleh partai demi terbentuknya sosialisme.
Alasan Pramoedya untuk membela orang asing Tionghoa adalah alasan kemanusiaan. Ia mengatakan bahwa ia ingin mengungkapkan rasa persamaan dengan orang “tertindas” dari negara manapun. Ia sendiri memiliki sebagian darah Cina. Dengan alasan subjektif dan pribadi apapun di balik pembelaannya, jelas bahwa dengan mengekspresikannya ketika debat politik mengenai minoritas Tionghoa terpolarisasi antara PKI dan partai-partai politik lainnya, Pramoedya dapat dilihat tengah menyelaraskan dirinya secara politik dengan Pki dan bersebrangan dengan PNI. Pandangannya tidak selalu sejalan dengan pandangan orang Tionghoa tentang diri mereka sendiri, terutama jika warga Tionghoa itu anti komunis.
Fakta-fakta tersebut bersama kedekatan Pramoedya dengan Lekra memperlihatkan bahwa pembelaannya akan orang Tionghoa adalah pembelaan terhadap kelompok minoritas terbatas khususnya kelompok yang juga dibela oleh PKI. Dibandingkan artikelnya yang terdahulu “Djembatan Gantung...” dalam karya inilah Pramoedya terlihat jelas merengkuh pandangan sosial dan politik PKI.
Hoa Kiau karya Pramoedya kemudian dilarang tak lama setelah terbit dan dirinya sendiri dipenjara selama enam bulan.




Kesimpulan

Pramoedya ananta Toer dianggap penulis kontroversial di tanah air karena menurut catatan sejarah,  Pram pernah dituding sebagai juru bicara LEKRA  (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Lembaga ini adalah salah satu corong budaya milik “organisasi sayap kiri”  yang dibentuk oleh DN Aidit, Nyoto dan sebagainya dalam memposisikan gerakan PKI dalam opini masyarakat pada waktu itu melalui tulisan, tarian dan budaya. Inilah yang menjadi ganjalan utama Pram dari masa muda  hingga menjelang masa kebebasannya di akhir hayatnya.
Ganjalan yang dialami oleh Pram memang unik, ia bukan saja menjadi “musuh” zaman kolonial, tetapi juga menjadi musuh bagi pemerintahan Soekarno pada zaman orde lama dan terus berlanjut menjadi musuh pemerintahan zaman Orde Baru (Orba).
Pramoedya menjadi musuh tiga zaman tidak lain adalah karena kritikan-kritikan Pramoedya melalui tulisan-tulisan dan gagasannya kepada para penguasa. Ide pemikirannya memang tidak bertentangan dengan pemerintahan, karena ia menganut paham nasionalisme, namun karena kritikan-kritikan yang ia gagas dalam karya-karya sastranya itulah yang akhirnya menyebabkan ia harus menghabiskan tujuh belas tahun lamanya di penjara.  Akibat idealismenya juga, Pram dijauhi sekaligus dimusuhi. Salah satunya adalah tuduhan terhadap Pram sebagai antek-anteknya LEKRA yang kejam dan sadis.
Seiring dengan meningkatnya  keterbukaan pemerintah RI dengan meningkatnya perhatian pemerintah RI dalam menjalankan  prinsip HAM dan Demokrasi, Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan TIDAK terlibat G 30 S PKI. Penulis ini pun lantas meneruskan kembali bakat dan menyalurkan idealismenya melalui tulisan-tulisan yang tetap tajam dan mengkritisi pemerintah dengan amat tajam. Akibatnya, dia kembali lagi berurusan dengan Pemerintah Orba.
Penulis Semi Fiksi yang mampu  menggambarkan interaski antara budaya  ini akhirnya meninggal  dalam usia 81 tahun. Meskipun dia terus terluka  dalam “sayatan”  ketajaman tulisannya, akhirnya dia dapat tersenyum juga. Masalahnya bukan karena telah mendapatkan pengampunan dari pemerintah RI tentang status dan kejelasan nasibnya sebagai warga negara Indonesia yang seutuhnya, melainkan karena ia telah meninggalkan hasil karyanya yang diakui dunia.

A placed where my heart is....

Makin hari makin kangen suasana rumah di Samarinda. Cuaca yang gloomy, mendung mendung adem, Sehra bobok, dan sendirian begini bikin hati ma...