Pendahuluan
Biografi Singkat
Pramoedya Ananta Toer lahir tanggal 6 Februari 1925 di Blora, Jawa
Tengah. Ia adalah putra sulung dari seorang guru yang nasionalis. Ayahnya putra
tertua seorang naib, sementara ibunya putri tengah seorang petinggi keagamaan
dari Rembang. Di usia empat tahun pada 1929, Pramoedya masuk di sekolah yang
dipimpin ayahnya. Selama periode
ini, ayahnya mendedikasikan waktu di
sore hari setelah sekolah, khusus untuk membinanya. Sang ayah mengajarinya
tentang alam, nasionalisme, cerita-cerita rakyat, tentang penindasan,
penderitaan manusia dan keserakahan Belanda. Di dalam cerpen Pramoedya “Yang Sudah
Hilang”, Ia menggambarkan ibu sang narator mengajarkannya hal-hal seperti kajian tentng flora dan fauna
lokal, nama-nama binatang serta konsep nasionalisme dan identitas budaya.
Latar Belakang dan Pendekatan Kritis
Terhadap Sastra
Ketegangan sosial yang terjadi pada awal 1950-an menyebabkan
perubahan-perubahan politik diantisipasi para seniman dan penulis dengan dengan
mengekspresikan ketidakpuasan dan rasa frustasi mereka terhadap masyarakat
kontemporer dalam karya kreatif mereka. Pada saat itu, PKI adalah satu-satunya
partai yang menaruh minat untuk “meluas dan meninggikan” aspek-aspek yang lebih
halus dalam kehidupan manusia, dalam hal ini yang dimaksud adalah seni dan
budaya, demi masyarakat yang buta huruf di Indonesia. PKI merespon dan tertarik kepada para penulis dan
seniman yang secara sosial kurang beruntung. PKI menunjukkan perhatian kepada
peran-peran mereka serta kebutuhan mereka untuk mendapatkan tempat di
masyarakat. Namun keberadaan mereka tersebut juga didikte oleh program-program
partai sehingga mudah bagi mereka untuk bertindak, sadar atau tidak sadar,
sebagai juru bicara kebijakan-kebijakan partai merupakan sebuah peran yang
mencoreng kredibilitas mereka sebagai seniman-seniman bonafid.
Situasi yang demikian dan dibarengi pula oleh krisis yang
berkepanjangan dalam rumah tangga Pramoedya, sehingga membuatnya berpaling ke
arah Kiri. Di saat itu itulah Pram didekati oleh A.S Dharta yang saat menjadi
sekretaris Jenderal Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang juga merupakan
pendiri Lekra. Lekra juga mengatur agar Pram diundang untuk menghadiri
peringatan hari wafatnya pengarang terkemuka di China yaitu Lu Hsun. Di saat Ia
berkeliling Cina, Ia melihat bagaimana partai Kiri berusaha menyelamatkan
rakyat selama ribuan tahun dalam kesengsaraan. Dia melihat juga bahwa di negeri
itu, para seniman dan terutama para pengarang mendapat penghargaan yang tinggi
dari negara sehingga hidupnya memadai. Meskipun ia tidak menelan begitu saja
propaganda yang dihadapkan kepadanya, namun ia menyadari bahwa untuk mengatasi
persoalan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia haruslah ada uluran tangan dari
kekuasaan yang membimbing dan mengarahkannya.
Sosok Pramoedya sebelumnya dikenal sebagai salah satu tokoh sastra
tanpa afiliasi politik. Namun setelah adanya Konsepsi Soekarno yang merupakan
suatu tanda atau simbol bagi Pramoedya untuk mengambil keputusan yang tegas, ia
kemudian mampu mengutarakan sikap politik secara dramatis dengan menjadikan
dirinya salah satu tokoh sastra tenar pertama yang mendukung suatu program baru
presiden. Karena PKI adalah partai politik pertama yang mendukung Konsepsi
Presiden Soekarno, jadi wajar saja bagi Pramoedya apabila hal itu dipromosikan
sebagai suatu unsur kebudayaan dalam jurnal ideologi resmi dari suatu partai
politik.
Pembahasan
Pemikiran
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer merupakan salah seorang pemikir politik yang
menganut paham nasionalisme yang ditanamkan oleh ayahnya semenjak ia kecil. Ia
menuangkan ide-ide pemikiran serta kritiknya terhadap kondisi sosial dan
politik di Indonesia melalu karya-karya sastranya, dari esai, cerpen, hingga
novel. Karya-karyanya yang beraliran realisme sosial, merupakan hasil seleksi
pengalaman hidup yang pernah ditempuhnya. Ia sosok novelis yang mencurahkan
pemikirannya di bawah naungan humanisme dan ciri kemanusiaan merupakan landasan
utama penciptaan seluruh karya sastranya. Di dalam karyanya, Pramoedya mengusut
berbagai inti pemikiran dari kritikannya terhadap pemerintahan.
Aliran
Realisme Sosialis
Kegandrungan Pramoedya terhadap sejarah kemungkinan besar
dipengaruhi oleh teori sederhana Maxim Gorky: The people must know their history (rakyat mesti tahu sejarahnya).
Pengaruh lain bisa disebutkan datang dari aliran realisme, terutama realisme
sosialis. Bagi Pramoedya, salah satu watak realisme sosialis adalah
"terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya
sendiri". Dalam definisi Pramoedya, Realisme sosialis merupakan metode
yang meneruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan
pandangan sosialisme-ilmiah. Dalam menghadapi persoalan masyarakat, realisme
sosialis mempergunakan pandangan yang struktural fundamental.
Realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang
mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya.
Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat
dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana
"penyadaran" bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan
keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah
Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.
Realisme sosialis mereka memang bukan layaknya realisme sosialis
yang berkembang kemudian. Keberpihakan mereka terhadap rakyat pekerja yang
lemah lebih merupakan suatu komitmen sosial, dan bukan atas dorongan
landasan-landasan yang lebih ilmiah seperti halnya realisme sosialis sebagai
aliran yang datang lebih kemudian. Atau dengan kata lain, realisme sosialis
mereka bisa dikatakan sebagai realisme sosialis "cikal bakal" yang
masih bersifat sosialisme utopis. Sedikit membela mereka, Pramoedya
mengistilahkannya sebagai kekeliruan, bukan kesalahan.
Ini benar, hampir dalam semua karya Pramoedya, tokoh-tokoh
protagonisnya hadir untuk berjuang demi cita-citanya secara gigih, tetapi
kemudian secara terpaksa menyerah kepada kenyataan yang ada. Pramoedya sering
kali memang tidak menempatkan karya sastranya dalam semboyan atau teriakan
tentang cita-cita yang muluk. Yang terpenting bagi dirinya adalah bangkitnya
kesadaran pembaca (masyarakat) akan tanggung jawab sebagai manusia untuk
keadilan dan kebenaran.
Konsep Nasionalisme
Secara garis besar
konsep nasionalisme Pram yang dikaitkan dengan bentuk Negara, Pram lebih suka
bentuk kesatuan. Ia tidak sepakat dengan bentuk federalism, karena ia
menganggap bahwa dengan federalism intervensi asing akan mudah masuk ke
Indonesia. Pram lebih menyukai otonomi sebagai bentuk kompromi pertentangan
konsep Negara kesatuan yang terlalu absolute dengan konsep Negara federalism
yang terlalu bebas. Apabila memakai konsep Negara federalisme Indonesia juga
belum tentu mampu menerapkannya. Karena wilayah kelautan juga masih sering
kecolongan dikarenakan masih lemahnya sistem pertahanan dan keamanan pada
batas-batas kelautan di Indonesia.
Pram berasumsi bahwa persoalan mendasar yang perlu
dibenahi dalam persoalan berbangsa dan bernegara adalah wawasan dari sejarah
yang berangkat dari rasa kebersamaan sehingga kita menjadi satu bangsa
Indonesia. Wawasan tersebut tidak boleh dilupakan dan harus dikuatkan dan
disepakati. Tugas kita adalah mengajarkan wawasan kebersamaan tersebut kepada
anak-anak.
Kata kunci konsep dasar nasionalisme dalam sejarah
pergerakan masyarakat Indonesia sebenarnya adalah persatuan. Pram pernah
menulis karyanya yang berjudul Sekali
Peristiwa di Banten Selatan. Yang dilatarbelakangi kunjungan
Pram ke Banten untuk menggerakkan masyarakat dalam persatuan untuk melawan
pemberontakan DI/TII. Soekarno pernah berkata bahwa Pancasila itu bisa diperas
menjadi trisila kemudian bisa diperas lagi menjadi satu, yaitu gotong royong.
Pram menceritakan dalam karyanya tersebut tentang nasib masyarakat yang selalu
ditindas terus, mulai dari penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, Agresi
Militer Beanda I dan II, kemudian ditambah lagi pemberontakan DI/TII.
Penindasan yang sempurna untuk masyarakat Indonesia. Makin menderita saja
masyarakat Indonesia, kemudian sudah menderita masih ditambah lagi tercerai
berainya tatanan masyarakat. Jika masyarakat tidak mau bersatu dan gotong
royong tunggu saja datangnya pahlawan bertopeng yang akan melepaskan masyarakat
dari penderitaan akibat penindasan. Penderitaan ini sangat kronis karena
berlangsung sangat lama dan terus menerus sampai keturunan-keturunan
berikutnya.
Pram juga
melihat jika perkembangan nasionalisme dari tiap zaman perlu dilakukan
perubahan. Zaman kolonialime tentu berbeda situasi dan kondisinya dengan orde
lama maupun orde baru. Nasionalisme 45 adalah semangat. Musuh kita pada tahun
45 adalah penjajah yang bisa dilawan dengan perang yang menggunakan kekuatan
fisik. Seperti halnya Perang dunia I, Perang Dunia II, atau Perang Salib.
Namun, saat ini perang yang kita alami berganti menjadi perang ekonomi,
pertarungan menanamkam modal di Negara lain.
Konsep Jawasentrisme
Pramoedya
Ananta Toer mengkritik fenomena kekuasaan yang terlalu Jawa Sentris. Fenomena
ini ini ditolak oleh Pram dikarenakan sudah sejak zaman penjajahan pusat
pemerintahan selalu berada di Jawa yang mengakibatkan banyak ras-suku yang
bermigrasi ke Jawa. Mereka menganggap bahwa Jawa lebih baik dari pulau lain dan
lebih, mudah, enak, nyaman, tenteram, bahagia bekerja ataupun sekolah di Jawa.
Singkatnya, mereka lebih suka hidup di Jawa daripada hidup di daerahnya sendiri
yang secara pembangunan masih tertinggal dari Jawa.
Pram menilai apabila konsep pemusatan kekuasaan nasional di
Jawa cenderung menjadikan kita sebagai bangsa yang hanya bergerak ke dalam,
tidak berani melakukan ekspansi, dan menonjolkan kekutan di luar. Bangsa yang
hanya cari aman saja, Akibatnya banyak terjadi konflik internal tidak
berkesudahan dalam perjalanan bangsa sejak merdeka sampai reformasi.
Pramoedya
sepertinya melihat, monopoli (kebudayaan) Jawa adalah biang keladi KKN yang
menghancurkan tata pemerintahan yang baik dan bersih sepanjang sejarah
nusantara. Menurut pengakuan Pram, ketika zaman Soekarno
muncul wacana untuk memindah ibukota Negara ke Palangkaraya, ia setuju dengan
wacana tersebut. Namun, tidak terlaksana karena pemerintahan beralih ke rezim
Soeharto. Sebenarnya sewaktu zaman Soeharto Pram pun berharap bahwa pusat
pemerintahan akan berpindah dari Jawa. Namun, setelah lama menanti sampai rezim
Soeharto beralih ke era reformasi tidak kunjung berpindah, dan pusat
pemerintahan sampai saat ini tetap berada di Jakarta yang masuk wilayah Jawa.
Konsep Marxisme (Pertentangan Kelas)
Salah satu konsep pemikiran lain
dari Pramoedya mengenai kehidupan sosial Indonesia pada masa itu ialah Marxisme
(pertentangan kelas) yang dituang dalam novel salah satunya berjudul Bumi Manusia. Nilai marxisme dalam novel Bumi Manusia dipengaruhi oleh
latar belakang kehidupan Pramoedya sendiri. Hal itu merupakan cerminan
kehidupan Pramoedya yang penuh dengan perjuangan guna menegakkan keadilan.
Marxisme merupakan pemberontakan untuk memperjuangkan keadilan,
kebenaran dan kemanusiaan yang merata bagi seluruh umat manusia. Marxisme
mengandung nilai perjuangan keadilan, nilai penghapusan strata sosial, nilai
rasa senasib-sepenanggungan, nilai multikulturalisme dan nilai anti-kapitalisme
atau persamaan yang terdapat dalam novel Bumi Manusia.
Buku tersebut
bercerita tentang perjalanan seorang tokoh bernama Minke. Minke adalah salah
satu anak pribumi yang sekolah di HBS. Pada masa itu, yang dapat masuk ke
sekolah HBS adalah orang-orang keturunan Eropa. Minke adalah seorang pribumi
yang pandai, ia sangat pandai menulis. Tulisannya bisa membuat orang sampai
terkagum-kagum dan dimuat di berbagai Koran Belanda pada saat itu. Sebagai
seorang pribumi, ia kurang disukai oleh siswa-siswi Eropa lainnya. Minke
digambarkan sebagai seorang revolusioner di buku ini. Ia berani melawan
ketidakadilan yang terjadi pada bangsanya. Ia juga berani memberontak terhadap
kebudayaan Jawa, yang membuatnya selalu di bawah.
Selain tokoh Minke, buku ini juga menggambarkan seorang
“Nyai” yang bernama Nyai Ontosoroh. Nyai pada saat itu dianggap sebagai
perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri
simpanan. Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita,
karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, yang
menariknya adalah Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut sehingga dia
berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang
manusia. Nyai Ontosoroh berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan,
kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan belajar. Minke juga menjalin asmara
dan akhirnya menikah dengan Anneliesse, anak dari Nyai Ontosoroh dan tuan
Millema.
Melalui buku itu, Pram menggambarkan bagaimana keadaan
pemerintahan kolonialisme Belanda pada saat itu secara hidup. Pram, menunjukan
betapa pentingnya belajar. Dengan belajar, dapat mengubah nasib. Seperti di
dalam buku ini, Nyai yang tidak bersekolah, dapat menjadi seorang guru yang
hebat bagi siswa HBS dan Minke. Bahkan pengetahuan si nyai itu, yang didapat dari
pengalaman, dari buku-buku, dan dari kehidupan sehari-hari, ternyata lebih luas
dari guru-guru sekolah HBS.
Konsep Humanisme
Untuk menghubungkan “realisme sosialis”-nya dengan isu-isu
kontemporer, Pramoedya memperingatkan bahwa humanisme universal bukanlah
sesuatu yang istimewa, melainkan hanya sebuah versi baru dari apa yang ada pada
masa kolonial yang disebut kebijakan etis. Sebagai pewaris kebudayaan, para penulis akan
mempromosikan sifat universal kemanusiaannya dan bukan kecenderungan-kecenderungan
budaya tertentu yang terbatas hanya pada satu bangsa. Sikap ini kemudian
dikenal dengan istilah “humanisme universal”. Pernyataan ini menegaskan bahwa
rakyat berasal dari percampuran yang memunculkan dunia-dunia baru nan sehat.
Dengan demikian rakyat tidak terbatas pada kelas sosial tertentu.
Di mata Pram, humanisme universal adalah humanisme
individualis-borjuis yang melemahkan cita-cita revolusi karena membawakan
pesimisme dan negativisme, cerminan bagi suara kapitalis Barat yang kehilangan
tanah jajahan. Sementara itu, realisme-sosialis berwatak optimistis dan
menentang kapitalisme dan imperialisme. Pram lalu menyatakan, salah satu watak
realisme-sosialis adalah sikap militan yang ia kutip dari Maxim Gorky: if the enemy does not surrender, he must be
destroyed.
Dengan demikian, pembelaan terhadap humanisme tidak bisa diukur
dari realis atau modernisnya suatu karya. Karya realis bisa saja sangat
humanis, seperti karya Pram, tapi bisa juga antihumanisme ketika ia menjadi
“seni resmi”, “seni pembangunan”. Sementara itu, puisi liris, yang kelihatannya
individual, dalam rezim totaliter bisa saja menjadi suara subversif. Melalui
karya-karyanya, Pramoedya senantiasa menghadirkan sosok revolusioner, pembawa
perubahan, dan penentang arus yang memberikan perlawanan terhadap situasi dan
kondisi mapan yang tidak memanusiakan manusia. Humanisme Pram berlaku pada
konsistensi membela keadilan dan kemanusiaan. Pram memberi pesan damai pada
semua peradaban baik yang dimiliki pada setiap bangsa.
Pengaruh
Pemikiran Pramoedya
Militansi ala Gorky yang telah dipaparkan sebelumnya, mungkin
dipakai sebagai pedoman Pramodeya ketika duduk sebagai dewan redaksi di
Lentera. Hasilnya, beda persepsi dan stilistika penulisan karya sastra
ditransformasikan ke ranah publik hingga melahirkan konflik-konflik yang
berujung pada terali penjara. Kelompok sastrawan yang tidak seide dan seiman
dengan barisannya ‘terpaksa’ berkonsolidasi dan melahirkan Manifesto Kebudayaan
(Manikebu). Di akhir hayatnya, ketika Pramoedya ditanya kenapa dulu di Lentera
menyerukan agar penulis yang tidak berpihak pada the perspiring and toiling masses
‘dibabat’ dan ‘tidak perlu diberikan ruang sekecil-kecilnya’, pledoinya
ternyata mambu-mambu
security approach dan paradoks dengan pesan humanisme yang ada di
dalam karya-karyanya. Pramoedya membuat kesepakatan keberpihakan dengan
penguasa, menurutnya, saat itu Soekarno sedang terancam dan negara dalam
bahaya. Karena itu, seni yang tidak seiring-sejalan dengan revolusi harus
‘dibabat’.
Di sisi lain, Godftaher Realisme-Sosialis ini ternyata membawa
pertimbangan-pertimbangan pribadi ke dalam intrik pemikiran berkesenian dan
berkebudayaan Indonesia kala itu. Pramoedya memaparkan sebuah alasan pribadi
bahwa ketika dirinya duduk di beranda Lentera, ia sangat marah pada militer dan
semua yang diperalat oleh militer karena penahanan atas dirinya yang
semena-mena. Dan Lentera adalah alat yang tepat dan masuk akal untuk
digunakannya sebagai media balas dendam kepada ‘musuh-musuh’nya yang sekarang
berbaris rapi dalam kubu Manikebu.
Hoa
Kiau
Istilah Hoa Kiau yang digunakan Pramoedya merujuk secara khusus
kepada warga Republik Rakyat Cina yang hidup di Indonesia. Dalam analisanya
mengenai sejarah dan latar belakang sosial sebelum kedatangan kolonialisme Belanda,
sepanjang periode kolonial, dan semenjak kemerdekaan, Pramoedya tidak
membedakan antara orang Cina yang berdarah murni dan peranakan. Dalam hal ini,
Pramoedya memandang minoritas masyarakat Tionghoa dalam pemikiran yang mirip
dengan pemikiran yang mirip dengan pola pemikiran pandangan kebanyakan
masyarakat non-Cina yang lahir di Indonesia dalam memandang masyarakat non-Cina
yang lahir di Indonesia dalam memandang masyarakat pendatang tersebut, yaitu
sebagai kelompok orang asing yang homogen.
Karya Pramoedya mengenai minoritas Tionghoa agak berbeda. Karyanya
terutama membela hak-hak “hoa-kiau” atau “orang asing” Tionghoa yang hidup di
Indonesia. Ia berpendapat, antara lain, bahwa adalah hak dari “hoa kiau” untuk mempertahankan kewarganegaraan RRC
mereka, baik secara aktif maupun pasif. Pramoedya berependapat bahwa seharusnya
untuk menjadi warganegara RRC dan memilih untuk memilih tinggal di Indonesia
bukanlah suatu kejahatan. Tidaklah adil melarang mereka bermata pencaharian
hanya karena mereka adalah warga negara asing.
Selain itu, menurut Pramoedya bahwa musuh utama dari orang
Indonesia bukanlah para “hoa kiau”, namun para imperialis dari industrialis
asing dari Barat : Inggris, Amerika,
Belanda, dan sekutu lokal mereka yaitu para borjuis nasional dan komprodator
kapitalis. Argumen tersebut sejalan dengan sudut pandang beberapa fraksi PKI
dan Baperki yang dipimpin Siau Giok Tjhan. Analisa sosial Pramoedya dan jargon
yang dipakainya sangat mirip dengan analisa PKI tentang masyrakat Indonesia pada
masa itu, khususnya tentang “borjuasi nasional” dan “komprador kapitalis” yang
dianggap sebagai kelas-kelas dalam masyrakat yang harus dihancurkan oleh partai
demi terbentuknya sosialisme.
Alasan Pramoedya untuk membela orang asing Tionghoa adalah alasan
kemanusiaan. Ia mengatakan bahwa ia ingin mengungkapkan rasa persamaan dengan
orang “tertindas” dari negara manapun. Ia sendiri memiliki sebagian darah Cina.
Dengan alasan subjektif dan pribadi apapun di balik pembelaannya, jelas bahwa
dengan mengekspresikannya ketika debat politik mengenai minoritas Tionghoa
terpolarisasi antara PKI dan partai-partai politik lainnya, Pramoedya dapat
dilihat tengah menyelaraskan dirinya secara politik dengan Pki dan bersebrangan
dengan PNI. Pandangannya tidak selalu sejalan dengan pandangan orang Tionghoa
tentang diri mereka sendiri, terutama jika warga Tionghoa itu anti komunis.
Fakta-fakta tersebut bersama kedekatan Pramoedya dengan Lekra
memperlihatkan bahwa pembelaannya akan orang Tionghoa adalah pembelaan terhadap
kelompok minoritas terbatas khususnya kelompok yang juga dibela oleh PKI.
Dibandingkan artikelnya yang terdahulu “Djembatan Gantung...” dalam karya
inilah Pramoedya terlihat jelas merengkuh pandangan sosial dan politik PKI.
Hoa Kiau karya Pramoedya kemudian dilarang tak lama setelah terbit
dan dirinya sendiri dipenjara selama enam bulan.
Kesimpulan
Pramoedya ananta Toer dianggap penulis kontroversial di tanah air
karena menurut catatan sejarah, Pram pernah dituding sebagai juru bicara
LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Lembaga ini adalah salah satu corong
budaya milik “organisasi sayap kiri” yang dibentuk oleh DN Aidit, Nyoto
dan sebagainya dalam memposisikan gerakan PKI dalam opini masyarakat pada waktu
itu melalui tulisan, tarian dan budaya. Inilah yang menjadi ganjalan utama Pram
dari masa muda hingga menjelang masa kebebasannya di akhir hayatnya.
Ganjalan yang dialami oleh Pram memang unik, ia bukan saja menjadi
“musuh” zaman kolonial, tetapi juga menjadi musuh bagi pemerintahan Soekarno
pada zaman orde lama dan terus berlanjut menjadi musuh pemerintahan zaman Orde
Baru (Orba).
Pramoedya menjadi musuh tiga zaman tidak lain adalah karena
kritikan-kritikan Pramoedya melalui tulisan-tulisan dan gagasannya kepada para
penguasa. Ide pemikirannya memang tidak bertentangan dengan pemerintahan,
karena ia menganut paham nasionalisme, namun karena kritikan-kritikan yang ia
gagas dalam karya-karya sastranya itulah yang akhirnya menyebabkan ia harus
menghabiskan tujuh belas tahun lamanya di penjara. Akibat idealismenya juga, Pram dijauhi
sekaligus dimusuhi. Salah satunya adalah tuduhan terhadap Pram sebagai
antek-anteknya LEKRA yang kejam dan sadis.
Seiring dengan meningkatnya keterbukaan pemerintah RI dengan
meningkatnya perhatian pemerintah RI dalam menjalankan prinsip HAM dan
Demokrasi, Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan
mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan TIDAK terlibat G
30 S PKI. Penulis ini pun lantas meneruskan kembali bakat dan menyalurkan idealismenya
melalui tulisan-tulisan yang tetap tajam dan mengkritisi pemerintah dengan amat
tajam. Akibatnya, dia kembali lagi berurusan dengan Pemerintah Orba.
Penulis Semi Fiksi yang mampu menggambarkan interaski antara
budaya ini akhirnya meninggal dalam usia 81 tahun. Meskipun dia
terus terluka dalam “sayatan” ketajaman tulisannya, akhirnya dia
dapat tersenyum juga. Masalahnya bukan karena telah mendapatkan pengampunan
dari pemerintah RI tentang status dan kejelasan nasibnya sebagai warga negara Indonesia
yang seutuhnya, melainkan karena ia telah meninggalkan hasil karyanya yang
diakui dunia.